Pengertian Taqlid
Taqlid secara makna
bahasa berarti membuat ikatan di leher, terambil dari kata qilaadatun, yang
bermakna sesuatu yang digunakan orang untuk mengikat yang lainnya (lihat Al
Hadits Hujjatun bi Nafsihi, hal 75 dan Al Aqoid hal 91)
Adapun secara istilah,
taqlid bermakna mengambil madzab ornag lain atau beramal dengan ucapan manusia
tanpa dalil dan hujjah. Abu abdillah bin Khuwaizi Mandad berkata,” Setiap orang
yang engkau ikuti tanpa dalil dan hujjah, maka engkau adalah muqollid-nya”. [
Lihat I’lamul Muwaqiin hal 137]
Dengan demikian jika
mengikuti pendapat seseorang atau ucapannya, padahal pendapat atau ucapan
tersebut tidak berdasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah yang shahih atas pemahaman
salafush shalih, maka disebut muqollid-nya orang tersebut.
Perbedaan Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’ dan taqlid
adalah dua hal yang jauh berbeda dan saling berlawanan. Hal ini merupakan
kesepakatan para ulama’ dan hampir tidak ada ulama yang menyelisihinya kecuali
orang-orang muta’ashibah dan muqollidah yakni orang-orang yang fanatik terhadap
golongannya dan muqollidnya madzab tertentu. Perbedaan kedua hal tersbut dapat
dilihat dari beberapa segi :
1.
Dilihat dari segi pengertiannya
Kalau diperhatikan
dari definisi ittiba’ dan taqlid yang telah di jelaskan sebelumnya maka akan
jelas gamblang bagi kita bahwa ittiba’ tidak sama dengan taqlid. Sehingga tidak
mungkin ittiba itu dikatakan taqlid dan sebaliknya. Karena Ittiba’ mengikuti
pendapat atau ucapan seseorang dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah yang
shahih dengan pemahaman salafush shalih, sedangkan taqlid mengikuti pendapat
seseorang tanpa dibangun diatas hujjah sahih hanya dibangun diatas hawa nafsu
saja.
2.
Ittiba’ adalah suatu amalan syar’I yang disyariatkan oleh Alloh Azza wa Jalla
dan RosulNya.
Alloh Azza wa
Jalla berfirman
“ Ikutilah apa yang
diturunkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Nya.
Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” [QS Al A’rof 3]
Sedangkan taqlid
adalah perbuatan terlarang dalam Islam dan dicela oleh Alloh Azza wa Jalla
dalam banyak ayat dalam kitabNya. Diantaranya Alloh Azza wa Jalla berfirman
kepada orang-orang yang bertqlid kepada bapak-bapak mereka:
“Dan apabila dikatakan
kepada mereka’ikutilah apa yang diturunkan Allah’,Mereka menjawab:’(Tidak),tapi
kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami
mengerjakannya’. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun
syaithon itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala.” [QS Luqman
21]
Ayat ini dan juga
ayat-ayat lainnya yang semakna dijadikan dalil oleh para ulama’ tentang
batilnya taqlid. Oleh karena itu mereka para Ulama semua melarang umat untuk
taqlid kepada mereka dan menyruh ummat untuk ber ittiba’ kepada Al Qur’an dan
Sunah [lihat Kitab Imam Ibnu Abdil Barr , bayaanil Ilmi wa Fadllihi untuk
pembahasan selengkapnya]
3.
Ittiba adalah ciri khas yang dimiliki Ahlus Sunnah Wal Jamaah, bahkan merupakan
salah satu kaidah dibangunya manhaj mereka.
Ahlus Sunnah wal
Jamaah memandang bahwa yang wajib diikuti adalah sunnah Rosululloh Sholallahu
Alaihi Wassalam baik itu yang berkaitan dengan masalah I’tiqod, ibadah maupun
permasalahan agama yang lainnya, hal itu dapat dicapai dengan mengetahui
hadits-hadits yang shahih dari Beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan
apa yang dipahami salaful Ummah. Adapun taqlid yang berujung kepada kebid’ahan
adalah ciri khas Ahlul Bid’ah, Ahlul Ikhtilaf dan dan firqoh-firqoh sesat dan
menyesatkan [ Lihat : Al I’tishom karya Imam Syathibi -rahimahullah- )
Hubungan Taqlid dan
Bid’ah
Perlu dipahami bahwa
sebab kemunduran kaum muslimin dan kehinaan mereka adalah karena kebodohan
mereka terhadap Kitabulloh dan sunnah RosulNya serta isi kandungannya. karena
sebab kebodohan inilah mereka banyak terperosok kedalam kebid’ahan dan
khurufat. Dari kebodohan ini pulalah timbul dan munculnya taqlid, sedang,
sedangkan bid’ah menjadi laris manis kalau dijual dan dijajakan di pasar
‘kebodohan’ dan ‘ketaqlidan’.
Oleh karena itu jika
kita mempelajari seluk beluk taqlid, kemudian kita pelajari hakekat kebid’ahan
niscaya kita tahu bahwa ternyata antara bid’ah dan yaqlid memiliki hubungan
yang sangat erat. jika kita perhatikan, perbuatan bid’ah niscaya akan kita
ketahui bahwa pelakunya adalah seorang muqollidun.Dan kalau kita melihat
seorang muqollid, niscaya kita lihat bahwa dia tenggelam ke dalam kebid’ahan,
kecuali mereka yang dirahmati Alloh Azza wa Jalla .
Sebab-sebab yang
menunjukkan bahwa taqlid itu memiliki hubungan yang kuat dengan bid’ah dan
bahayanya, diantaranya :
1.
Muqollid tidak bersandar dengan dalil dan tidak mau melihat dalil, jika dia
bersandar kepada dalil, maka dia tidak lagi disebut muqollid. Demikian pula
Mubtadi’, dia pun dalam melakukan kebid’ahannya tidak berpegang teguh dengan
dalil, karena kalau berpegang dengan dalil maka ia tidak lagi dinamakan
mubtadi’, karena asal makna bid’ah adalah mengadakan suatu hal yang baru tanpa
dalil atau nash.
2.
Taqlid dan bid’ah adalah tempat tergelinciran yang sangat berbahaya untuk
menyimpang dari agama dan aqidah. Karena dua hal tersebut akan menjauhkan
pelakunya dari nash dan dalil Al Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber
kebenaran. Jika dua penyakit ini sudah mengenai seseorang, niscaya dia akan
terjauh dari dalil. Dan jika sudah demikian, maka mengikuti setiap syubhat yang
sampai kepdanya dan akan tunduk dan patuh pada setiap seruan.
3.
Taqlid dan bid’ah ,merupakan sebab pokok tersesatnya umat terdahulu. Alloh Azza
wa Jalla menceritakan dalam Al Qur’an tentang Bani Israil yang meminta Musa
Alaihi salam untuk menjadikan bagi mereka satu ilah/sesembahan dari batu,
karena taqlid mereka kepada para penyembah arca yang pernah mereka lewati.
FirmanNya:
“ Dan Kami seberangkan
bani Israel ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu
kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata:’ Hai Musa,
buatkanlah untuk kami sebuah ilah sebagaimana mereka memiliki beberapa ilah.’
Musa menjawab:’ Sesungguhkan kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.’
Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan
batal apa yang selalu mereka kerjakan” {QS Al A’rof 138-139]
Sekalipun Nabi Musa
Alaihi salam melarang dan mencerca mereka dan merekapun mengetahui bahwa
berhala itu hanya bebatuan yang tidak dapat memberi manfaat dan mudlarat, namun
mereka tetap membuat patung anak sapi dan menyembahnya. hal ini karena taqlid
yang sudah menimpa mereka.
Ayat tersebut sangat
jelas menunjukkan bahaya taqlid dan hubungannya sangat erat dengan bid’ah
bahkan dengan kesyirikan dan kekufuran. hal inilah yang merupakan sebab
sesatnya Bani Israil dan umat lainnya, termasuk sebagian umat Muhammad
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .[lihat Ilmu Ushulil bid’ah 175-183].
Hukum Bertaqlid
Dalam permasalahan
ini, ada tiga pendapat :
1.
Pendapat yang membolehkan bahkan mewajibkan taqlid, pendapat ini dipegang oleh
para muqollidun madzahib (fanatik madzab) baik dulu maupun sekarang
2.
Pendapat yang melarang taqlid secara mutlak, diantara ulama yang berpendapat
demikian adalah Ibnu Khuwaizi Mandad -rahimahullah- dan Imam Asy Syaukani
-rahimahullah- .
3.
Pendapat yang mengatakan bahwa taqlid ada dua hukum:
a.
Taqlid yang diperbolehkan, yaitu taqlid seorang yang bodoh kepada ‘alim yang
terpercaya.
b.
Taqlid yang dilarang, yaitu taqlid kepada seseorang ‘alim tertentu tanpa
hujjah.
Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya Imam Abdil Barr dan
Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi –rahimakumullah- [ lihat al aqoid hal 93-95]
Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- berkomentar tentang kebolehan bagi orang
awam yang jahil untuk bertaqlid kepada ‘alim yang terpercaya dengan ucapan,”
Yang benar adalah bahwa orang yang tidak mampu untuk mengetahui dalil, dia
itulah yang diharuskan taqlid. karena Alloh Azza wa Jalla tidak membebani suatu
jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. dan kadng-kadang seorang alim pun
terpaksa harus bertaqlid dlam beberapa permasalahan yaitu ketika dia tidak
mendapatkan suatu nash Al Qur’an dan Sunnah nabawiyyah, dia hanya mendapatkan
ucapan dari orang yang lebih ‘alim dari dirinya, maka dia pun terpaksa harus
taqlid dari dirinya. hal ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’I -rahimahullah-
dalam beberapa permasalahan.
Oleh karena itulah
Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah -rahimahullah- mengatakan,” Ini adalah perbuatan
ulama’ dan memang demikian seharusnya, karena taqlid itu hanya diperbolehkan
untuk orang yang terpaksa saja. Adapun orang yang berpaling dari Al Qur’an dan
Sunnah serta perkataan para Shohabat rodliallohu anhum dan tidak mau tahu al
haq dengan dalil, padahal dia mampu namun dia lebih memilih taqlid, maka orang
semacam ini bagaikan orang yang makan bangkai padahal dia mampu memakan
binatang halal hasil sembelihan…” [lihat Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi 86-87]
Syubhat-Syubhat dan
Bantahannya
Syubhat-syubhat
yang timbul sekitar masalah ini muncul dari para muqqallid dan fanatis madzab.
Mereka didalam membela hawa nafsunya dan emmalingkan umat dari Al Qur’an dan
Assunnah kepada pendapat-pendapat perorangan dan madzab tertentu, membuat
syubhat-syubhat yang kemudian dilemparkan ketengah umat. Diantaranya:
1.
Sesungguhnya tidak ada yang dapat memahami, merenungi dan mengamalkan isi
kandungan Al Qur’an dan AsSunnah melainkan mujtahid. Sedangkan mujtahid itu
adalah orang-orang yang telah memenuhi syarat begini dan begitu! (syarat
menurut apa yang mereka kehendaki), Namun karena tidak ada orang yang bisa
mnencapai derajat mujtahid maka harus berpaling dari Al Qur’an dan Sunnah dan
cukup hanya berpegang pada madzab dan pendapat orang-orang tertentu.
Bantahan:
Jika kita perhatikan
dengan seksama syubhat diatas maka kita dapat memahami bahwa syubhat diatas
dibangun diatas dua hal :
a.
Tidak ada yang bisa memahami Al Qur’an dan Sunnah melainkan mujtahid mutlak.
b.
bahwa mujtahid yang memenuhi syarat sama sekali sudah tidak ada lagi di dunia
ini.
Kemudian dari dua hal
tersebut diperoleh kesimpulan :” Terlarang bagi seluruh penduduk bumi ini untuk
memahami dan mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah dan cukup bagi mereka berpegang
dengan madzab-madzab yang sudah ada.”
Syubhat ini dijawab
sendiri oleh Alloh Azza wa Jalla dalam banyak ayat, diantaranya:
“Maka apakah mereka
(orang kafir dan munafik) tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka
telah terkunci” [QS Muhammad 24].
Dalam ayat ini jelas
sekali Alloh Azza wa Jalla mencerca orang-orang kafir dan munafisk yang tidak
mau memperhatikan AL Qur’an dan isi kandungannya. Dalam ayat ini kita lihat
bahwa orang kafirpun diperintah oleh Alloh Azza wa Jalla untuk tadabbur
(memperhatiakan) Al Qur’an , demikian pula Alloh Azza wa Jalla mecerca
orang-orang yag berpaling dari Al Qur’an:
“Ini adalah
sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi
orang-orang yang berpikir [Shaad 29]
Ayat ini dan ayat
lainnya yang semakna dengannya adalah dalil yang membatalkan syubhat diatas.
Karena Alloh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kaum muslimin seluruhnya untuk
memahami dan memperhatikan ayat Al Qur’an.
Jadi, jika ayat
tersebut dikhususkan bagi seorang mujtahid saja, sedangkan yang lainnya
diharamkan, maka pengkhususan seperti itu membutuhkan suatu dalil yang qoth’I
dari Al Qur’an dan Hadist Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam yang shahih dan
tidak dikhususkan dengan pendapat-pendapat ulama madzab tertentu.
Jelaslah bagi
orang-orang yang memiliki akal bahwa syubhat diatas yag melarang untuk memahami
dan mengamalkan Al Qur’an dan sunnah cukup dengan madzab-madzab yang ada adalah
sejelek-jeleknya syubhat. Karena menyelisihi nash Al Qur’an dan As Sunnah dan
ijma’ para Shohabat rodliallohu anhum bahkan menyelisihi imam-imam madzab yang
empat.
Kemudian jika yang
mereka maksudkan adalah Al Qur’an dan As Sunnah tidak perlu lagi dipelajari
dengan alasan madzab-madzab yang ada sudah mencukupi, maka ini adalah tuduhan
yang keji dan ucapan mungkar.Sedangkan jika yang mereka maksudkan bahwa
mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah adalah sulit dan tidak ada yang mampu, maka
inipun anggapan batil. Karena mempelajari Al Qur’an dan Sunnah lebih mudah
daripada mempelajari pendapat perorangan.
Alloh Azza wa
Jalla berfirman:
“Dan sesungguhnya
telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil
pelajaran?” [Al Qomar 17,22,32,40]
Ayat ini dan ayat yang
semakna lainnya menunjukkan bahwa Allah telah mudahkan bagi umat ini untuk
mempelajari Al Qur’an. Hal ini pasti terjadi karena merupakan janji Alloh Azza
wa Jalla , terlebih lagi seperti zaman sekarang ini Al Qur’an telah tersusun
rapi dan tercetak indah dan lengkap dengan kitab tafsirnya dan terjemahannya.
Demikan kitab–kitab Hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , tinggal
kemauan dan niat yang ikhlas dari muslimin untuk mempelajarinya.
Adapun diantara
syarat-syarat mujtahid yang mereka tetapkan, tidak satupun dari syarat tersebut
yang disepakati oleh para ulama, kecuali kesepakan para sesama muqollidun.
(lihat Al Aqalid hal 14-23]
2.
Mereka mengatakan,”Tidak boleh taqlid selain kepada madzab empat, sekalipun
mencocoki Al Qur’an, hadits shahih dan aqwal / ucapan para Shohabat rodliallohu
anhum karena orang-orang yang kelaur dari madzab adalah sesat lagi menyesatkan
dan bisa menjerumuskan dia kedalam kekufuran, juga mengambil dzahir nash Al
Qur’an dan As Sunnah termasuk pokok-pokok kekufuran.”
Bantahan:
Pada dasarnya ucapan
diatas bukanlah syubhat karena sudah jelas kebatilannya, oleh karena itu Syaikh
Muhammad Amin Asy-Syinqithi –-rahimahullah- dalam kitabnya Al-Aqalid hal 24-25
mengatakan,” Lihatlah wahai saudaraku ! alangkah keji dan batilnya ucapan ini
dan alangkah lancangnya orang yang mengutarakan semacam ini terhadap Allah,
KitabNya, NabiNya, Sunnahnya dan para Shohabat rodliallohu anhum ! Subhanallah,
ini adalah kedustaan yang besar.”
Yang benar adalah
sebagai mana yang dipahami oleh para Shohabat rodliallohu anhum dan mayoritas
ulama bahwa tidak boleh berpaling pada zdahir nash Al Qur’an dan Asd Sunnah,
bagaimanapun keadaannya dari segi apapun sampai dalil syar’I yang shahih yang
memalingkan dzahir nash pada kemungkinan lain yang marjuh.
Maka ucapan syubhat
diatas tidak akan keluar dari mulut orang yang mengerti dan faham Kitabullah
dan Sunnah RosulNya, akan tetapi keluar dari orang yang bodoh terhadap
keduannya sehingga meyakini bahwa mengambil dzahir nash Al Qur’an dan As Sunnah
adalah pokok kekufurun.
3.
Mereka mengatakan,” Kami (para muqollidun) adalah orang-orang yang mengamalkan
firman Alloh Azza wa Jalla “…maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang
berilmu, jika kamu tidak mengetahui” [QS AlAnbiya’7]
Ayat ini memerintahkan
kita sebagi orang yang tidak berilmu untuk bertanya kepada orang yang lebih
berilmu dari dia. Dan ini adalah dalil perbuatan kami.”
Bantahan :
Syaikh Muhammad Amin
Asy Syinqithi -rahimahullah- menjawab syubhat ini dengan mengatakan,” Adapun
istidlal (pengambilan dalil) mereka dengan ayat ini adalah istidlal yang
bukan pada tempatnya, karena ayat tersebut tidak menunjukkan wajibnya taqlid
buta seperti yang ada pada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa Ahlul Dzikr dalam
ayat ini adalah ahli wahyu yang mengerti akan dua wahyu yang datang dari
sisiNya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, kemudian mereka diperintahkan untuk
bertanya kepaada ahlu dzikr tersebut agar diberi fatwa dengan ketentuan wahyu,
maka barangsiapa bertanya tentang wahyu kemudian diberitahu dan dijelaskan lalu
dia mengamalkan apa yang telah dijelaskan berarti di ittiba’ pada wahyu bukan
dinamakan taqlid. sedangkan ittiba’ kepada wahyu adalah wajib.”
Demikian beberapa
syubhat dari banyak syubhat yang dilontarkan muqllidun di tenagh umat, ucapan syubhat
mereka telah dibantah oleh para ulama Ahlus sunnah diantaranya oleh Imam Ibnul
Qoyyim Al Jauziyah -rahimahullah- dalam kitabnya I’lamul Muwaqiin juz 2 hal
140-198 (dapatkan kitab asli dan terjemahannya di www.al-aisar.com), dalam
kitab ini beliau membantah semua syubhat para muqqlid dengan menyebutkan
bantahan lebih dari 80 sisi.
Mudah mudahan Alloh
Azza wa Jalla menganugrahkan kepada kita taufiqNya untuk dapat ber iitiba’
kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dengan mengilmuinya/mempelajarinya,
mengamalkan dan mendakwahkannya kepada umat dan menjauhkan kita kepada taqlid
buta yang dapat menyesatkan kita.
Wallahu t’ala
‘alam bishawab
ma’raji :
Al Qur’anul Karim dan
terjemahannya
Jami’ul Ulum wal Hikam
, Al Hafidz Ibnu Rajab
Mahabbatur Rasul, Abdu
rauf Muhammad Utsaman
Jami’ Bayanil Ilmu wa
Fadllih, Imam Ibnu Abdil Barr
Al Hadits Hujjatun bi
Nahsihi, Suiakh Al Albani
Al I’tiqod wal Hidayah
Ila Sabdi Ar Rasyad, Imam Al Baihaqi
Fadlu Ilmi Salaf, Al
Hafidz Ibnu Rajab
Shahih Bukhori, Imam
Bukhori
Shahih Muslim, Imam
Muslim
Ilmu Ushulil Bida’,
Syaikh Ali Hasan Al Halabi
Al I’tishom, Imam Asy
Syatibi
Syarh Aqidah
Thahawiyah, Imam Ibnu Abil Izzi Al hahafi
Al Aqalid, Syaikh
Muhammad Amin Asy Syinqithi
Al Ushul As Sittah, Imam
Muhammad bin Abdul Wahab
Hal lil Muslim
Mulzamun bi ittiba’ Madzab Mu’ayyan, Muhammad sulthon Al Ma’shumi.
(Dapatkan kitabnya di
www.al-aisar.com)
Sumber : Majalah Salafy edisi X/Jumadil Awwal/1417 H, dilarang mengkopi kecuali menyertakan www.al-aisar.com sebagai sumbernya)
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.