Wednesday 19 June 2013

apa itu Taqlid..??

Pengertian Taqlid
Taqlid secara makna bahasa berarti membuat ikatan di leher, terambil dari kata qilaadatun, yang bermakna sesuatu yang digunakan orang untuk mengikat yang lainnya (lihat Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi, hal 75 dan Al Aqoid hal 91)

Adapun secara istilah, taqlid bermakna mengambil madzab ornag lain atau beramal dengan ucapan manusia tanpa dalil dan hujjah. Abu abdillah bin Khuwaizi Mandad berkata,” Setiap orang yang engkau ikuti tanpa dalil dan hujjah, maka engkau adalah muqollid-nya”. [ Lihat  I’lamul Muwaqiin hal 137]

Dengan demikian jika mengikuti pendapat seseorang atau ucapannya, padahal pendapat atau ucapan tersebut tidak berdasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah yang shahih atas pemahaman salafush shalih, maka disebut muqollid-nya orang tersebut.

 Perbedaan Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’ dan taqlid adalah dua hal yang jauh berbeda dan saling berlawanan. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama’ dan hampir tidak ada ulama yang menyelisihinya kecuali orang-orang muta’ashibah dan muqollidah yakni orang-orang yang fanatik terhadap golongannya dan muqollidnya madzab tertentu. Perbedaan kedua hal tersbut dapat dilihat dari beberapa segi :

1.      Dilihat dari segi pengertiannya

Kalau diperhatikan dari definisi ittiba’ dan taqlid yang telah di jelaskan sebelumnya maka akan jelas gamblang bagi kita bahwa ittiba’ tidak sama dengan taqlid. Sehingga tidak mungkin ittiba itu dikatakan taqlid dan sebaliknya. Karena Ittiba’ mengikuti pendapat atau ucapan seseorang dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih dengan pemahaman salafush shalih, sedangkan taqlid mengikuti pendapat seseorang tanpa dibangun diatas hujjah sahih hanya dibangun diatas hawa nafsu saja.

2.      Ittiba’ adalah suatu amalan syar’I yang disyariatkan oleh Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya.

Alloh Azza wa Jalla  berfirman

“ Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” [QS Al A’rof 3]

Sedangkan taqlid adalah perbuatan terlarang dalam Islam dan dicela oleh Alloh Azza wa Jalla dalam banyak ayat dalam kitabNya. Diantaranya Alloh Azza wa Jalla berfirman kepada orang-orang yang bertqlid kepada bapak-bapak mereka:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka’ikutilah apa yang diturunkan Allah’,Mereka menjawab:’(Tidak),tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaithon itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala.” [QS Luqman 21]

Ayat ini dan juga ayat-ayat lainnya yang semakna dijadikan dalil oleh para ulama’ tentang batilnya taqlid. Oleh karena itu mereka para Ulama semua melarang umat untuk taqlid kepada mereka dan menyruh ummat untuk ber ittiba’ kepada Al Qur’an dan Sunah [lihat Kitab Imam Ibnu Abdil Barr , bayaanil Ilmi wa Fadllihi untuk pembahasan selengkapnya]

3.      Ittiba adalah ciri khas yang dimiliki Ahlus Sunnah Wal Jamaah, bahkan merupakan salah satu kaidah dibangunya manhaj mereka.

Ahlus Sunnah wal Jamaah memandang bahwa yang wajib diikuti adalah sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam baik itu yang berkaitan dengan masalah I’tiqod, ibadah maupun permasalahan agama yang lainnya, hal itu dapat dicapai dengan mengetahui hadits-hadits yang shahih dari Beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan apa yang dipahami salaful Ummah. Adapun taqlid yang berujung kepada kebid’ahan adalah ciri khas Ahlul Bid’ah, Ahlul Ikhtilaf dan dan firqoh-firqoh sesat dan menyesatkan [ Lihat : Al I’tishom karya Imam Syathibi -rahimahullah- )

 
Hubungan Taqlid dan Bid’ah

Perlu dipahami bahwa sebab kemunduran kaum muslimin dan kehinaan mereka adalah karena kebodohan mereka terhadap Kitabulloh dan sunnah RosulNya serta isi kandungannya. karena sebab kebodohan inilah mereka banyak terperosok kedalam kebid’ahan dan khurufat. Dari kebodohan ini pulalah timbul dan munculnya taqlid, sedang, sedangkan bid’ah menjadi laris manis kalau dijual dan dijajakan di pasar ‘kebodohan’ dan ‘ketaqlidan’.

Oleh karena itu jika kita mempelajari seluk beluk taqlid, kemudian kita pelajari hakekat kebid’ahan niscaya kita tahu bahwa ternyata antara bid’ah dan yaqlid memiliki hubungan yang sangat erat. jika kita perhatikan, perbuatan bid’ah niscaya akan kita ketahui  bahwa pelakunya adalah seorang muqollidun.Dan kalau kita melihat seorang muqollid, niscaya kita lihat bahwa dia tenggelam ke dalam kebid’ahan, kecuali mereka yang dirahmati Alloh Azza wa Jalla .

Sebab-sebab yang menunjukkan bahwa taqlid itu memiliki hubungan yang kuat dengan bid’ah dan bahayanya, diantaranya :

1.                Muqollid tidak bersandar dengan dalil dan tidak mau melihat dalil, jika dia bersandar kepada dalil, maka dia tidak lagi disebut muqollid. Demikian pula Mubtadi’, dia pun dalam melakukan kebid’ahannya tidak berpegang teguh dengan dalil, karena kalau berpegang dengan dalil maka ia tidak lagi dinamakan mubtadi’, karena asal makna bid’ah adalah mengadakan suatu hal yang baru tanpa dalil atau nash.

2.                Taqlid dan bid’ah adalah tempat tergelinciran yang sangat berbahaya untuk menyimpang dari agama dan aqidah. Karena dua hal tersebut akan menjauhkan pelakunya dari nash dan dalil Al Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber kebenaran. Jika dua penyakit ini sudah mengenai seseorang, niscaya dia akan terjauh dari dalil. Dan jika sudah demikian, maka mengikuti setiap syubhat yang sampai kepdanya dan akan tunduk dan patuh pada setiap seruan.

3.                Taqlid dan bid’ah ,merupakan sebab pokok tersesatnya umat terdahulu. Alloh Azza wa Jalla menceritakan dalam Al Qur’an tentang Bani Israil yang meminta Musa Alaihi salam untuk menjadikan bagi mereka satu ilah/sesembahan dari batu, karena taqlid mereka kepada para penyembah arca yang pernah mereka lewati. FirmanNya:

“ Dan Kami seberangkan bani Israel ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata:’ Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah ilah sebagaimana mereka memiliki beberapa ilah.’ Musa menjawab:’ Sesungguhkan kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.’ Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan” {QS Al A’rof 138-139]

Sekalipun Nabi Musa Alaihi salam melarang dan mencerca mereka dan merekapun mengetahui bahwa berhala itu hanya bebatuan yang tidak dapat memberi manfaat dan mudlarat, namun mereka tetap membuat patung anak sapi dan menyembahnya. hal ini karena taqlid yang sudah menimpa mereka.

Ayat tersebut sangat jelas menunjukkan bahaya taqlid dan hubungannya sangat erat dengan bid’ah bahkan dengan kesyirikan dan kekufuran. hal inilah yang merupakan sebab sesatnya Bani Israil dan umat lainnya, termasuk sebagian umat Muhammad Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .[lihat Ilmu Ushulil bid’ah 175-183].

 
Hukum Bertaqlid

Dalam permasalahan ini, ada tiga pendapat :

1.      Pendapat yang membolehkan bahkan mewajibkan taqlid, pendapat ini dipegang oleh para muqollidun madzahib (fanatik madzab) baik dulu maupun sekarang

2.      Pendapat yang melarang taqlid secara mutlak, diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Khuwaizi Mandad -rahimahullah- dan Imam Asy Syaukani -rahimahullah- .

3.      Pendapat yang mengatakan bahwa taqlid ada dua hukum:

a.      Taqlid yang diperbolehkan, yaitu taqlid seorang yang bodoh kepada ‘alim yang terpercaya.

b.      Taqlid yang dilarang, yaitu taqlid kepada seseorang ‘alim tertentu tanpa hujjah.

               Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya Imam Abdil Barr dan Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi –rahimakumullah- [ lihat al aqoid hal 93-95]

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- berkomentar tentang kebolehan bagi orang awam yang jahil untuk bertaqlid kepada ‘alim yang terpercaya dengan ucapan,” Yang benar adalah bahwa orang yang tidak mampu untuk mengetahui dalil, dia itulah yang diharuskan taqlid. karena Alloh Azza wa Jalla tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. dan kadng-kadang seorang alim pun terpaksa harus bertaqlid dlam beberapa permasalahan yaitu ketika dia tidak mendapatkan suatu nash Al Qur’an dan Sunnah nabawiyyah, dia hanya mendapatkan ucapan dari orang yang lebih ‘alim dari dirinya, maka dia pun terpaksa harus taqlid dari dirinya. hal ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’I -rahimahullah- dalam beberapa permasalahan.

Oleh karena itulah Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah -rahimahullah- mengatakan,” Ini adalah perbuatan ulama’ dan memang demikian seharusnya, karena taqlid itu hanya diperbolehkan untuk orang yang terpaksa saja. Adapun orang yang berpaling dari Al Qur’an dan Sunnah serta perkataan para Shohabat rodliallohu anhum dan tidak mau tahu al haq dengan dalil, padahal dia mampu namun dia lebih memilih taqlid, maka orang semacam ini bagaikan orang yang makan bangkai padahal dia mampu memakan binatang halal hasil sembelihan…” [lihat Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi 86-87]

 
Syubhat-Syubhat dan Bantahannya

 Syubhat-syubhat yang timbul sekitar masalah ini muncul dari para muqqallid dan fanatis madzab. Mereka didalam membela hawa nafsunya dan emmalingkan umat dari Al Qur’an dan Assunnah kepada pendapat-pendapat perorangan dan madzab tertentu, membuat syubhat-syubhat yang kemudian dilemparkan ketengah umat. Diantaranya:

1.      Sesungguhnya tidak ada yang dapat memahami, merenungi dan mengamalkan isi kandungan Al Qur’an dan AsSunnah melainkan mujtahid. Sedangkan mujtahid itu adalah orang-orang yang telah memenuhi syarat begini dan begitu! (syarat menurut apa yang mereka kehendaki), Namun karena tidak ada orang yang bisa mnencapai derajat mujtahid maka harus berpaling dari Al Qur’an dan Sunnah dan cukup hanya berpegang pada madzab dan pendapat orang-orang tertentu.

Bantahan:

Jika kita perhatikan dengan seksama syubhat diatas maka kita dapat memahami bahwa syubhat diatas dibangun diatas dua hal :

a.       Tidak ada yang bisa memahami Al Qur’an dan Sunnah melainkan mujtahid mutlak.

b.      bahwa mujtahid yang memenuhi syarat sama sekali sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Kemudian dari dua hal tersebut diperoleh kesimpulan :” Terlarang bagi seluruh penduduk bumi ini untuk memahami dan mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah dan cukup bagi mereka berpegang dengan madzab-madzab yang sudah ada.”

Syubhat ini dijawab sendiri oleh Alloh Azza wa Jalla dalam banyak ayat, diantaranya:

“Maka apakah mereka (orang kafir dan munafik) tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka telah terkunci” [QS Muhammad 24].

Dalam ayat ini jelas sekali Alloh Azza wa Jalla mencerca orang-orang kafir dan munafisk yang tidak mau memperhatikan AL Qur’an dan isi kandungannya. Dalam ayat ini kita lihat bahwa orang kafirpun diperintah oleh Alloh Azza wa Jalla untuk tadabbur (memperhatiakan) Al Qur’an , demikian pula Alloh Azza wa Jalla mecerca orang-orang yag berpaling dari Al Qur’an:

“Ini adalah sebuah  kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang berpikir [Shaad 29]

Ayat ini dan ayat lainnya yang semakna dengannya adalah dalil yang membatalkan syubhat diatas. Karena Alloh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kaum muslimin seluruhnya untuk memahami dan memperhatikan ayat Al Qur’an.

Jadi, jika ayat tersebut dikhususkan bagi seorang mujtahid saja, sedangkan yang lainnya diharamkan, maka pengkhususan seperti itu membutuhkan suatu dalil yang qoth’I dari Al Qur’an dan Hadist Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam yang shahih dan tidak dikhususkan dengan pendapat-pendapat ulama madzab tertentu.

Jelaslah bagi orang-orang yang memiliki akal bahwa syubhat diatas yag melarang untuk memahami dan mengamalkan Al Qur’an dan sunnah cukup dengan madzab-madzab yang ada adalah sejelek-jeleknya syubhat. Karena menyelisihi nash Al Qur’an dan As Sunnah dan ijma’ para Shohabat rodliallohu anhum bahkan menyelisihi imam-imam madzab yang empat.

Kemudian jika yang mereka maksudkan adalah Al Qur’an dan As Sunnah tidak perlu lagi dipelajari dengan alasan madzab-madzab yang ada sudah mencukupi, maka ini adalah tuduhan yang keji dan ucapan mungkar.Sedangkan jika yang mereka maksudkan bahwa mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah adalah sulit dan tidak ada yang mampu, maka inipun anggapan batil. Karena mempelajari Al Qur’an dan Sunnah lebih mudah daripada mempelajari pendapat perorangan.

Alloh Azza wa Jalla  berfirman:

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” [Al Qomar 17,22,32,40]

Ayat ini dan ayat yang semakna lainnya menunjukkan bahwa Allah telah mudahkan bagi umat ini untuk mempelajari Al Qur’an. Hal ini pasti terjadi karena merupakan janji Alloh Azza wa Jalla , terlebih lagi seperti zaman sekarang ini Al Qur’an telah tersusun rapi dan tercetak indah dan lengkap dengan kitab tafsirnya dan terjemahannya. Demikan kitab–kitab Hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , tinggal kemauan dan niat yang ikhlas dari muslimin untuk mempelajarinya.

Adapun diantara syarat-syarat mujtahid yang mereka tetapkan, tidak satupun dari syarat tersebut yang disepakati oleh para ulama, kecuali kesepakan para sesama muqollidun. (lihat Al Aqalid hal 14-23]

 
2.      Mereka mengatakan,”Tidak boleh taqlid selain kepada madzab empat, sekalipun mencocoki Al Qur’an, hadits shahih dan aqwal / ucapan para Shohabat rodliallohu anhum karena orang-orang yang kelaur dari madzab adalah sesat lagi menyesatkan dan bisa menjerumuskan dia kedalam kekufuran, juga mengambil dzahir nash Al Qur’an dan As Sunnah termasuk pokok-pokok kekufuran.”

Bantahan:

Pada dasarnya ucapan diatas bukanlah syubhat karena sudah jelas kebatilannya, oleh karena itu Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi –-rahimahullah- dalam kitabnya Al-Aqalid hal 24-25 mengatakan,” Lihatlah wahai saudaraku ! alangkah keji dan batilnya ucapan ini dan alangkah lancangnya orang yang mengutarakan semacam ini terhadap Allah, KitabNya, NabiNya, Sunnahnya dan para Shohabat rodliallohu anhum ! Subhanallah, ini adalah kedustaan yang besar.”

Yang benar adalah sebagai mana yang dipahami oleh para Shohabat rodliallohu anhum dan mayoritas ulama bahwa tidak boleh berpaling pada zdahir nash Al Qur’an dan Asd Sunnah, bagaimanapun keadaannya dari segi apapun sampai dalil syar’I yang shahih yang memalingkan dzahir nash pada kemungkinan lain yang marjuh.

Maka ucapan syubhat diatas tidak akan keluar dari mulut orang yang mengerti dan faham Kitabullah dan Sunnah RosulNya, akan tetapi keluar dari orang yang bodoh terhadap keduannya sehingga meyakini bahwa mengambil dzahir nash Al Qur’an dan As Sunnah adalah pokok kekufurun.

3.      Mereka mengatakan,” Kami (para muqollidun) adalah orang-orang yang mengamalkan firman Alloh Azza wa Jalla “…maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” [QS AlAnbiya’7]

Ayat ini memerintahkan kita sebagi orang yang tidak berilmu untuk bertanya kepada orang yang lebih berilmu dari dia. Dan ini adalah dalil perbuatan kami.”

Bantahan :

Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi -rahimahullah- menjawab syubhat ini dengan mengatakan,” Adapun istidlal (pengambilan dalil) mereka dengan ayat ini adalah istidlal yang  bukan pada tempatnya, karena ayat tersebut tidak menunjukkan wajibnya taqlid buta seperti yang ada pada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa Ahlul Dzikr dalam ayat ini adalah ahli wahyu yang mengerti akan dua wahyu yang datang dari sisiNya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, kemudian mereka diperintahkan untuk bertanya kepaada ahlu dzikr tersebut agar diberi fatwa dengan ketentuan wahyu, maka barangsiapa bertanya tentang wahyu kemudian diberitahu dan dijelaskan lalu dia mengamalkan apa yang telah dijelaskan berarti di ittiba’ pada wahyu bukan dinamakan taqlid. sedangkan ittiba’ kepada wahyu adalah wajib.”

 
Demikian beberapa syubhat dari banyak syubhat yang dilontarkan muqllidun di tenagh umat, ucapan syubhat mereka telah dibantah oleh para ulama Ahlus sunnah diantaranya oleh Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah -rahimahullah- dalam kitabnya I’lamul Muwaqiin juz 2 hal 140-198 (dapatkan kitab asli dan terjemahannya di www.al-aisar.com), dalam kitab ini beliau membantah semua syubhat para muqqlid dengan menyebutkan bantahan lebih dari 80 sisi.

Mudah mudahan Alloh Azza wa Jalla menganugrahkan kepada kita taufiqNya untuk dapat ber iitiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dengan mengilmuinya/mempelajarinya, mengamalkan dan mendakwahkannya kepada umat dan menjauhkan kita kepada taqlid buta yang dapat menyesatkan kita.

 
Wallahu t’ala  ‘alam bishawab


ma’raji :

Al Qur’anul Karim dan terjemahannya
Jami’ul Ulum wal Hikam , Al Hafidz Ibnu Rajab
Mahabbatur Rasul, Abdu rauf Muhammad Utsaman
Jami’ Bayanil Ilmu wa Fadllih, Imam Ibnu Abdil Barr
Al Hadits Hujjatun bi Nahsihi, Suiakh Al Albani
Al I’tiqod wal Hidayah Ila Sabdi Ar Rasyad, Imam Al Baihaqi
Fadlu Ilmi Salaf, Al Hafidz Ibnu Rajab
Shahih Bukhori, Imam Bukhori
Shahih Muslim, Imam Muslim
Ilmu Ushulil Bida’, Syaikh Ali Hasan Al Halabi
Al I’tishom, Imam Asy Syatibi
Syarh Aqidah Thahawiyah, Imam Ibnu Abil Izzi Al hahafi
Al Aqalid, Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi
Al Ushul As Sittah, Imam Muhammad bin Abdul Wahab
Hal lil Muslim Mulzamun bi ittiba’ Madzab Mu’ayyan, Muhammad sulthon Al Ma’shumi.

 
(Dapatkan kitabnya di www.al-aisar.com)


Sumber : Majalah Salafy edisi X/Jumadil Awwal/1417 H, dilarang mengkopi kecuali menyertakan
 www.al-aisar.com sebagai sumbernya)

Pages

Blogger news

Powered by Calendar Labs

Blogger templates

Pages - Menu

Tinggalkan pesanan anda =)